Media tanam rockwool merupakan media tanam padat yang dipakai dipakai oleh pekebun dan pehobi hidroponik di lokal maupun mancanegara.
Hal itu tak lepas dari kelebihan rockwool, yakni pehobi dapat memakai dalam waktu lama selama budidaya, bersifat porus, dan optimal menjerat air dan udara. Rockwool juga jarang menjadi inang berbagai cendawan dan bakteri yang merugikan tanaman hidroponik.
Rockwool merupakan kelompok media tanam nonorganik seperti kerikil, pasir, dan hydroton. Rockwool berasal dari batu basalt yang dipanaskan sampai meleleh di temperatur 1.600°C.
Saat meleleh hingga mencair itu batu basalt (rock) segera diputar (spin) pada mesin hingga memunculkan produk akhir menyerupai benang. benang-benang itu yang kemudian dipadatkan seperti kain wool. Itu sebab media tanam yang dikembangkan sejak awal 1970 di Denmark itu populer disebut rockwool.
Rockwool porus lantaran memiliki rongga berukuran 6-10 mikromoter. Kondisi itu membuat rockwool mempunyai struktur khas untuk mendukung pertumbuhan akar tanaman.
Pantas bila rockwool menjadi salah satu media tanam favorit untuk pembibitan, tidak melulu di hidroponik, tetapi juga tanaman hias.
Di pasar rockwool dijual dalam ukuran slab. Satu slab memiliki ukuran 1.000 mm x 150 mm x 75 mm dengan harga di toko saprotan bervariasi Rp60.000-Rp75.000. Sebelum pekebun atau pehobi memakainya, slab itu dipotong dadu dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 2,5 cm atau 3 cm x 3 cm x 3 cm
Menurut Agus Ruswanto, pekebun hidroponik di Jawa tengah, rockwool mudah hancur sesudah dipakai. “Biasanya hanya bisa dipakai sekali untuk penanaman mulai dari benih hingga panen,” kata pemilik Alfath Farm itu.
khusus pekebun hidroponik tanpa naungan, media tanam rockwool sering dijumpai menjadi rumah bagi lumut yang mudah tumbuh saat media tanam terpapar sinar matahari. Sejauh ini asalkan pertumbuhan akar tanaman baik, kondisi itu tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman hidroponik.