Saban berangkat kerja, Budi Setiadi di Cililitan, Jakarta Timur, menyempatkan diri singgah di penjaja lontong. Ia merogoh kocek Rp5.000 untuk membeli 3 lontong beserta 2 bakwan. Pria 29 tahun itu menyukai aroma lontong yang dibungkus daun pisang. “Bau lontong jadi enak,” ujarnya.
Daun pisang sebagai pembungkus memberi flavor alias citarasa pada makanan. Tak hanya lontong, beragam penganan seperti kue nagasari dan kue bugis juga memakai daun pisang. Pun pangan tempe.
Daun pisang yang acapkali dipakai pembungkus berasal dari jenis pisang batu. Jenis itu berdaun tebal serta menghasilkan aroma harum. Istimewanya, daun pisang batu tidak menimbulkan perubahan warna makanan yang dibungkus.
Riset Titri Siratantri dan Ratna Handayani dari Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan pada 2014 mengungkapkan, terdapat 5 senyawa fitokimia seperti 2-methoxy-4-vinylphenol, phytol, vanillin, E-15-heptadecenal, serta 1,2-benzenedicarboxylic acid, bis (2-ethylhexyl) ester yang berkontribusi pada aroma daun pisang.
Senyawa fitokimia seperti 2-methoxy-4-vinylphenol, vanillin, serta phytol sudah dimanfaatkan sebagai senyawa perisa produk makanan. Sejatinya, senyawa itu tak sekadar memberi aroma, tapi juga berkhasiat seperti mempunyai aktivitas antioksidan dan antimikroba. Sebab itu, penganan dibungkus daun pisang cenderung memiliki masa simpan lama dan menyehatkan.