Ulat hongkong bagi pehobi atau penangkar burung kicauan, merupakan pakan alami penting, selain pakan pelet. Hal itu karena ulat hongkong merupakan sumber energi untuk tumbuh dan berbiak. Kadar protein ulat hongkong mencapai 48-56% dengan 25-45% kadar lemak.
Saat ini kebutuhan ulat hongkong meningkat seiring tumbuhnya jumlah pehobi burung. Survei bebeja.com di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur memperlihatkan, volume penjualan ulat hongkong mencapai 100-125 kg/hari. Jumlah itu naik 2-3% setiap tahun. Harga ulat hongkong Rp18.000-Rp21.000/kg.
Kondisi itu menjadi peluang beternak ulat hongkong. Sayang, sebagian besar peternak ulat hongkong masih berkutat pada urusan kandang dan ransum pakan ulat hongkong. Padahal, terdapat hal penting lain yang menentukan kapasitas produksi ulat hongkong, yakni mengetahui reproduksi kumbang Tenebrio molitor sebagai induk produksi ulat hongkong.
Faktanya, peternak masih kesulitan membedakan jenis kelamin kumbang. Kelamin kumbang bisa diketahui cepat dengan melihat bagian ujung perut atau sejumlah segmen terakhir di perut. Kumbang betina memiliki sedikit pemisah di antara tiga bagian segmen perut paling ujung dan hampir tidak terlihat. Kumbang jantan mempunyai membran intersegmental berwarna terang.
Kumbang Tenebrio molitor memiliki tiga tahap proses kawin. Pada tahap pertama, kumbang jantan akan mengejar betina sampai kelelahan dan menyerah. Berikutnya, kumbang jantan menaiki betina dan membengkokkan perut bagian belakang ke bawah untuk penetrasi pada betina. Pada tahap akhir, kumbang jantan menyemprotkan sperma. Proses kawin itu berjalan 50-120 detik.
Kunci produksi itu, sesungguhnya terletak pada perbandingan jantan dan betina. Betina kawin dengan lebih dari satu jantan memiliki dua keuntungan secara material dan genetik. Keuntungan material terlihat dari peningkatan produktivitas betina, seperti meningkatnya jumlah atau ukuran telur. Secara genetik, keragaman gen terjaga sehingga produktivitas berikutnya bisa stabil tanpa terjadi bentuk kelainan seperti cacat.
Bila tidak mau repot peternak bisa membeli larva ulat hongkong di pasar burung. Biasanya pedagang menjual larva ulat berukuran 1-2 cm. Untuk menjadi kumbang, ulat itu butuh waktu sekitar 1 bulan.
Berdasarkan survei Burdett pada 1999, tidak disarankan membeli ulat hongkong ukuran besar karena biasanya sudah mendapat perlakuan hormon. Itu dilakukan untuk mencegah ulat berkembang menjadi kumbang. Efeknya, ulat hongkong hanya mengalami penambahan ukuran dan kalau berubah menjadi kumbang, sulit berbiak karena steril.
Kumbang ulat tepung biasanya ditempatkan pada wadah plastik atau pada kotak kayu ukuran 80 cm x 60 cm x 10 cm. Bagian atas kotak dibiarkan terbuka, tapi diberi lakban plastik agar larva maupun kumbang tidak keluar.
Pakan berupa pakan ayam petelur sebanyak 1-3 cm dari dasar kotak. Pakan itu berfungsi pula sebagai media hidup sang ulat. Alternatif pakan, campuran onggok, ampas tahu, dan tepung roti. Berikan pula sayuran seperti selada guna memenuhi kebutuhan air bagi ulat.
Sebagai media bertelur, biasanya diberi kapas setebal 1 cm atau potongan kayu berlubang. Bahan itu diletakkan di atas lapisan pakan. Di sana kumbang betina akan meletakkan telur. Pemindahan induk kumbang dilakukan setiap 10 hari pada tempat berbeda sampai kumbang mati.
Berikutnya, setelah larva mulai terlihat, larva diayak dan dipisahkan dalam dua wadah untuk dipelihara. Pada saat pemeliharaan larva tersebut tidak lagi memerlukan kapas atau potongan kayu. Larva-larva yang dipelihara itu akan berubah menjadi pupa lantas kumbang. Setelah dewasa, kumbang itu akan kawin dan memproduksi telur.
Kunci sukses beternak ulat hongkong adalah memberikan pakan sayuran segar. Hal ini sering diabaikan karena peternak lebih memilih memakai limbah sayuran. Padahal pemberian pakan segar pada ulat hongkong dapat meningkatkan kelulusan hidup ulat hongkong selama budidaya di atas 95%. Salam bebeja