Pemakaian kemasan styrofoam sebagai kemasan makanan dapat meninggalkan residu berupa styrene dimer dan trimer yang membahayakan kesehatan.
Sebab itu International Agency for Research on Cancer dan EPA (Enviromental Protection Agency) mengkategorikan styrofoam yang sulit terurai di tanah sebagai bahan karsinogen alias pemicu kanker.
Sebagai gantinya, pemakaian bioplastik sebagai bahan kemasan dapat menjadi pilihan. Peneliti di Departemen Bioteknologi, Fakultas Agroindustri, Kasetsart University di Bangkok, Thailand, sudah memproduksi wadah makanan dari lembaran bioplastik berbahan baku campuran pati singkong, serat selulosa, dan bahan aman lainnya.
Lembaran dicetak menjadi bentuk kemasan yang diinginkan. Teksturnya mirip karton, tapi tak rembes air selama 2-3 jam. Bila temperatur air 80°C, kemasan rusak setelah 20 menit.
Hasil uji bahan kimia menunjukkan kemasan itu bebas logam berat seperti timbel (Pb) dengan kadar kadmium (Cd) dan arsenik (As)-keduanya unsur beracun-masing-masing kurang dari 2 ppm dan 0,01 ppm. Jauh di bawah ambang batas membahayakan, yakni 5 ppm dan 0,02 ppm.
Peneliti dari Kasetsart University mengungkapkan, pati singkong dapat diolah menjadi asam polilaktat (PLA). PLA salah satu poliester yang mudah terurai secara alami dan dapat diolah menjadi berbagai produk berbahan plastik. Caranya, pati singkong difermentasi menggunakan enzim hidrolisis. Lalu dimurnikan hingga menghasilkan asam laktat.
Asam laktat kemudian dikonversi menjadi laktida pada reaktor dengan penyaluran tekanan dan suhu. Setelah itu laktida diberi katalis hingga menjadi polilaktat. Polilaktat itu yang kemudian dicampur dengan bijih plastik untuk memproduksi kantong plastik ramah lingkungan.
Bioplastik dari pati singkong itu dapat terurai di tanah dalam dua bulan dan menjadi sumber hara bagi tanaman.