Seiring tren gaya hidup sehat, permintaan gula semut meningkat. Tidak hanya pasar lokal, tetapi juga permintaan ekspor. Berbagai sentra gula semut tumbuh seperti di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Batang, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Banjarnegara) dan DI Yogyakarta (Kabupaten Kulonprogo). Sentra-sentra itu sudah lama berdiri, tetapi saat ini pengelolaan tata niaga lebih baik.
Gula semut diperoleh dengan menyadap nira. Nira merupakan cairan yang keluar dari manggar atau tandan bunga kelapa. Gula semut sebenarnya gula merah yang dijadikan bubuk sehingga disebut pula sebagai gula kristal. Dari produksi nira menjadi gula blok itu, hanya sekitar 60-70% yang dapat diolah menjadi gula semut.
Gula semut mempunyai aneka keunggulan seperti praktis dan instan dalam pemakaian, serta daya simpan lama hingga 1,5-2 tahun. Gula semut cocok dikonsumsi penderita diabetes dan konsumen yang sedang diet.
Seperti disebutkan, tren gaya hidup sehat membuat permintaan gula semut meningkat. Contoh salah satu eksportir di Jakarta mampu mengekspor 200 ton/tahun gula semut ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sejumlah negara Uni Eropa.
Hal itu membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi desa yang menjadi hulu kegiatan produksi gula semut. Melalui gerakan One Village One Product (OVOP) hal itu dimungkinkan. OVOP merupakan pendekatan pembangunan daerah untuk memajukan ekonomi daerah. Konsep OVOP berasal dari Oita, Jepang dan diadopsi oleh berbagai negara. Indonesia melalui Kementerian Perindustrian sejak 2008 melaksanakan program OVOP agar memajukan potensi industri kecil dan menengah kerajinan.
Salah satu OVOP untuk gula semut adalah Kabupaten Kulonprogo di DI Yogyakarta. Pada 2012 volume produksi gula semut di kabupaten seluas 586 km2 itu mencapai 225 ton. Pada 2013 volume produksi meningkat menjadi 450-500 ton. Gula semut produksi dari Kabupaten Kulonprogo itu memenuhi permintaan lokal dan ekspor dan sudah tersertifikasi organik sesuai standar pasar ekspor.
