Temulawak, kunyit, kencur, dan jahe sebagai produk herbal mempunyai kontribusi pada PDB nasional, petani, dan industri. Setiap tahun, produktivitas masing-masing komoditas itu meningkat: 11% untuk temulawak, kunyit (28%), kencur (52%), dan jahe (2,3%).
Pengolahan dan diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia) memberi nilai tambah 7-15 kali, sedangkan pengolahan rimpang menjadi ekstrak memberi nilai tambah 80-280 kali.
Tiongkok, negara paling maju dalam produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6-miliar dolar dengan pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia.
Di India, 60-70% penduduk memakai obat herbal, dengan nilai penjualan mencapai 3-miliar dolar (2002). Di Korea, tata niaga herbal mencapai 500-juta dolar atau 12% dari total penjualan obat dunia.
Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal pada 2000 mencapai 1,2-miliar dolar, dengan kenaikkan permintaan 13% per tahun. Di Indonesia, volume perdagangan obat tradisional pada 2002 baru mencapai 150-juta dolar.
Yang memprihatinkan, kebutuhan bahan baku untuk 1.023 perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (nilai aset di atas Rp600-juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (nilai aset di bawah Rp600-juta), justru 85% diperoleh dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya. (Sumber: Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat, edisi ke-2, Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 2007).