Karang hias merupakan unggulan ekspor Indonesia. “Dari 569 jenis karang di Indonesia, 81 jenis diperdagangkan dengan 49 jenis direkomendasi karena hasil perbanyakan atau propagasi,” ujar Dr Ofri Johan.
Data itu disampaikan oleh peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (Balitbangdias) tersebut, saat seminar Potensi Budidaya Karang Hias dan Ikan Hias Laut di Badan Litbang Kelautan dan Perikanan Ancol, Jakarta Utara, pada 21 April 2015.
Lebih jauh Ofri menuturkan, jenis karang polip besar seperti Cynarina lacrymalis, Scolymia spp, dan Tracyphyllia geoffroyi tergantung pada alam.
Ekspor karang hias yang masih mengandalkan alam itu, disinyalir mempercepat laju penurunan populasi bila tidak dikelola baik. Negara tujuan ekspor seringkali menolak hasil alam itu. “Contoh karang polip besar yang ditolak di Uni Eropa karena masih mengandalkan alam. Sebab itu, perlu produksi hasil budidaya,” kata Ofri.
Hal senada disampaikan Prof Dr Suharsono, Scientific Authority CITES yang menjelaskan bahwa pengambilan karang hias dari alam ke depan akan dibatasi, kecuali untuk sumber induk sebagai upaya penyegaran induk lama karena faktor kelelahan genetik dari metode fragmentasi.
Karang polip besar merupakan karang berukuran coralite (mulut) besar. Karang itu memiliki warna menarik dengan habitat di perairan agak dalam.
Permintaan dan harga karang berpolip besar di pasar ekspor sangat tinggi, sedangkan populasi di alam tidak sebanyak polip kecil.
Untuk mengantisipasi hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balitbangdias dengan menggandeng CV Cahaya Baru sebagai mitra berupaya melakukan penelitian dan pengembangan budidaya karang hias di Indonesia.
Tidak hanya teknologi budidaya karang hias, kerjasama penelitian dan pengembangan lain dilakukan dengan meriset teknologi budidaya ikan hias clown Amphiprion spp, udang hias laut Lysmata spp, dan kultur pakan alami laut.