Golongan Putih alias Golput pernah menjadi simbol filosofis melawan rezim otoriter orde baru. Namun kampanye golput pada pascareformasi tidak lebih perbuatan membangkang yang nyaris tanpa arti. Research Associate GFI Pipit Apriani mengatakan makna golput saat ini tidak selalu bermakna politis.
“Bisa karena acuh dengan pemilu, atau alasan administratif karena tidak terdaftar sebagai pemilih dan lebih banyak lagi karena tidak tahu mesti memilih siapa,” kata alumnus UI itu. Apalagi dalam UU Pemilu, memilih adalah hak, dengan demikian tidak ada paksaan bagi pemilih pergi ke TPS. “Di sisi lain, KPU kurang greget memberi sosialisasi pemilu pada masyarakat. Tidak heran, tingkat partisipasi pemilih rendah setiap pemilu,” katanya.
Tetapi menjadi golput di era demokrasi yang luas menjadi percuma jika dengan alasan ketidaktahuan atau tidak mau tahu calon pemimpinnya. Sementara banyak rakyat di negara lain berjuang untuk mendapatkan hak memberi suara seperti di Myanmar, Afganistan, dan Pakistan. Di sana pemilu adalah impian untuk memberikan masa depan baru dan perubahan yang lebih baik.
Kamal Yusuf, pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman menyatakan, banyak WNI yang melakukan perjalanan sampai 6 jam untuk memilih. “TPS di Jerman hanya ada tiga, yaitu di KBRI Berlin, Frankfurt, dan Hamburg. Saya naik kereta 3 jam ke Berlin untuk nyoblos,” ujar Kamal.
Perjalanan Kamal untuk menyelamatkan satu suara itu belum seberapa. Sebab, ada temannya yang melakukan perjalanan sampai 6 jam untuk ikut pencoblosan. Menurut dia suka atau tidak suka, memilih atau tidak, memiliki konsekuensi, yakni harus menerima calon terpilih. “Diam saja juga bikin pilihan, karena itu berarti kita mendukung keadaan untuk tidak berubah, mendukung status quo,” katanya.
Golput dinilai bukan solusi bagi mereka yang ingin perubahan progresif. Solusi terbaik untuk demokrasi adalah menjadi pemilih cerdas, pintar, dan bertanggungjawab. “Anda adalah seorang warga negara yang punya tanggungjawab terhadap jalannya bangsa. Pelajari riwayat hidup caleg untuk memberi pilihan,” kata Pipit Apriani. Ia menekankan, di dunia ini tidak ada gading tak retak, tidak ada caleg sempurna.
Pipit menekankan bagi mereka yang merasa lebih mampu menjadi wakil rakyat untuk tidak segan mencalonkan diri. Pakar politik UGM Ari Dwipayana mengatakan, jejak rekam seorang caleg harus dicermati, apakah caleg tersebut tersangkut kasus hukum atau tidak. “Caleg yang mempunyai track record buruk tidak pantas dipilih,” katanya.
“Pemilih harus cerdas memilih caleg yang kredibilitas, tidak melanggar HAM, tidak tersangkut kasus hukum atau korupsi, dan peduli adat istiadat setempat,” kata Ari Dwipayana. Ia menambahkan, masyarakat juga harus melihat apa yang dilakukan dan dipikirkan kandidat, serta apa sudah melaksanakan dan mewujudkan.
Selain itu, Ari Dwipayana mengimbau agar pemilih jangan memilih pejuang kesiangan atau politikus instan menjelang pemilu. “Pemilih sekarang harus punya momentum dan punya pilihan, jangan golput agar bisa berjuang, agar kursi atau posisi serta kedudukan tidak dikuasai orang salah,” katanya.
Golput dianggap sebagai langkah apatis dalam menyikapi demokrasi. Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso menyebut golput sebagai tindakan merugikan. Ketua DPP Golkar ini mengimbau masyarakat memilih pada Pemilu 2014. “Siapapun yang golput itu merugi, ini saatnya untuk mengubah sejarah, mengubah wajah politik lima tahun sekali. Kami menyerukan abaikan saja ajakan golput,” ujar Priyo.
Sebelumnya Kepala BIN Marciano mensinyalir kelompok separatis yang menyerukan golput Pemilu 2014. Mereka menggunakan isu provokatif seperti SARA dan isu populis ketidakadilan. “Elemen separatis aktif menyuarakan soal golput, serta boikot untuk Pemilu. Di daerah tertentu juga cenderung meningkat,” kata Marciano.
Bahkan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Waketum PBNU) As’ad Said Ali mengatakan warga NU rugi besar jika memilih golput pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Ia menyerukan agar nahdiyin berperan aktif memakai hak pilihnya saat pemungutan suara pada 9 April.
As’ad mengatakan suara nahdiyin dibutuhkan untuk menentukan wakil rakyat maupun pemimpin berkualitas. “Jika nanti yang terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin ternyata mereka yang kualitasnya jelek karena warga nahdiyin golput, itu artinya warga NU turut andil menciptakan pemerintahan yang buruk. Ini tentu menjadi kerugian besar,” katanya.
As’ad mengatakan PBNU menggariskan tidak ikut dalam partai politik (parpol) tertentu. “Pemimpin mana yang dipilih, kami serahkan pada para nahdiyin untuk menentukan pilihannya. Yang jelas jangan pernah memilih mereka yang pernah korupsi,” katanya. Namun di luar itu, memilih adalah hak, seperti apapun pilihan harus dihargai, meski pilihan untuk tidak memilih adalah sebuah hal sia-sia (Hanni Sofia).
Riwayat Penulis: Hanni Sofia adalah master art of  journalism dari Ateneo de Manila University. Saat ini ibu 3 anak itu adalah pewarta ekonomi di desk ekonomi mikro meliputi kewirausahaan, pariwisata, ekonomi kreatif, koperasi, UKM dan tekno di Kantor Berita Antara di Jakarta. Perempuan yang sudah 9 tahun berkecimpung di dunia pers dan sangat menggemari jalan-jalan itu saat ini adalah kontributor www.bebeja.com.Â