“Sayangilah padi seperti kamu menyayangi anakmu. Jangan pernah sesekali melanggar karena engkau akan celaka dan tidak berumur panjang”. Konon itu ucapan Hapui Diang Yung pada saat detik-detik menjelang kematian putri tunggalnya Long Diang Yung.
Itu pula ujung pengorbanan dari raja perempuan menurut kepercayaan suku Dayak Wehea di Kecamatan Muarawahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, untuk menyingkirkan kemarau panjang dan bencana kelaparan. Di saat darah Long Diang Yung tumpah membasahi bumi, hujan pun datang diiringi tumbuhnya padi.
Sejak itu hingga kini padi-Plai Long Diang Yung-ditanam dan dipanen tiada henti. Sebagai ungkapan rasa sayang itu suku Dayak Wehea membuat upacara lom plai atau erau padi-pesta panen padi. Inti panen tersebut supaya masyarakat selamat, berumur panjang, dan pada musim tanam berikutnya panen padi terus melimpah.
Lom plai dilakukan selesai panen padi selama sebulan penuh. Di buka dengan pemukulan gong-ngesea egung-oleh warga keturunan raja di eweang atau rumah adat, tradisi yang berlangsung Maret-April setiap tahun itu dimulai.
Prosesi diawali iringan perempuan yang berjalan dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Mereka kemudian berunding dengan kaum lelaki untuk menentukan lokasi jengea-pondok untuk membuat makanan.
Rangkaian upacara yang meliputi 11 acara itu menjadi menarik karena melibatkan semua warga, tua, muda, dan anak-anak. Salah satu tontonan unik adalah seksiang. Para lelaki dewasa bersenjatakan tombak weheang atau teberau-tangkai padi-melakukan simulasi perang-perangan di atas sampan di sungai.
Sebelum itu, mereka perlu mendayung sampan terlebih dahulu ke hulu. Peperangan di mulai ketika sampan pelan-pelan hanyut ke hilir. Namun, tidak boleh asal menombak. Orang yang membelakangi musuh atau musuh yang sampannya karam dilarang keras di tombak.
Puncak dari seluruh upacara itu adalah embob jengea. Masing-masing keluarga membuat lemang dan kue khas wehea beangbit. Beangbit dibuat dari beras dicampur gula merah atau pisang dan dimasak dalam bambu. Rasa penganan itu enak sekali dan makan sedikit saja cukup mengenyangkan.
Selama embob jengea juga diselipkan berbagai upacara lain, seperti tiaq diaq jengea. Pada ritual itu dilakukan embos min-membuang segala kesialan dan kejahatan-oleh sejumlah tetua perempuan. Selama mengelilingi desa dari hulu ke hilir, barisan terdiri 5-6 perempuan itu tidak boleh dilewati manusia atau hewan. Ritual lain adalah embos lewas-membuang adat kematian-dan nelha la-menggantung rumput.
Berbagai tari seperti tumbambataq, jiak keleng, dan ngewai, ikut memeriahkan puncak acara itu. Ujung dari seluruh upacara ditandai dengan embos epaq plai-membuang sekam padi. Seiring itu semua di sore hari, warga beranjak ke hulu untuk kemudian berjalan ke hilir sambil menyanyikan doa keselamatan-tluei pliq plai-yang dipimpin oleh seorang tua adat perempuan.
Kemeriahan lom plai dapat tertunda bila ada kematian dan kelahiran menjelang acara. Itu merupakan aturan adat. Namun penundaan itu tak sampai membuat lom plai diundur pada tahun berikutnya. Penundaan acara hanya berlangsung selama sepekan karena bila lom plai batal dilakukan, itu melanggar janji kepada Hapui Diang Yung, sang raja.