Sepanjang sejarah perkembangan tumbuhan obat di tanahair, buah merah boleh jadi tumbuhan obat pertama yang fenomenal.
Buah merah dicari oleh penderita penyakit degeneratif dan penyakit lain. Khasiat senyawa betakaroten dan tokoferol pada Pandanus conoideus itu, meroketkan pamor buah merah.
Adalah I Made Budi yang meriset buah merah itu ketika meneliti jamur di Kabupaten Wamena, Papua pada 1988. Made takjub atas fakta bila penduduk di lingkungan tempat meneliti, nyaris minim terserang penyakit degeneratif. Penelusuran awal dosen FMIFA Universitas Cendrawasih itu menjumpai hubungan dengan kebiasaan menyantap buah merah.
Pada 1998 saat menempuh gelar master di ilmu gizi IPB, Made intensif meneliti khasiat buah merah. Alumnus Fakultas Pendidikan MIPA IKIP Negeri Manado pada 1985 itu menjumpai aneka senyawa aktif berkadar tinggi pada buah merah, yakni betakaroten dan tokoferol.
Di tubuh, betakaroten menghasilkan vitamin A yang membantu aktif penyerapan protein hingga meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Penelitian memakai unggas pada ayam menguak hal itu. Made membuktikan dengan mencampurkan buah merah pada pakan, ayam tidak terserang penyakit mematikan tetelo.
Kadar tinggi betakaroten dan tokoferol juga mujarab sebagai antioksidan. Sebab itu, buah merah dipercaya mampu membantu menyembuhkan kanker. Riset Made mengungkapkan buah merah mengandung 3 senyawa antikanker, selain kandungan omega 3 dan omega 9-asam lemak tak jenuh-serta vitamin dan mineral penting bagi tubuh.
Made mengolah buah merah menjadi minyak agar mudah dikonsumsi. Olahan itu pertamakali diberikan pada keluarga tetangga yang sakit di Jayapura. Hasilnya? cespleng.
Berkat informasi dari mulut ke mulut, pamor minyak produksi Made melejit. Penyakit yang tertangani beragam, mulai kanker, kolesterol, asam urat, diabetes, hipertensi, flek paru, hepatitis, jantung koroner, osteosporosis, hingga HIV/AIDS.
Menyebut buah merah sebagai obat perlu pengujian ilmiah. Apalagi terkait dosis aman konsumsi. Prof Dr Elin Yulinah Sukandar dari Jurusan Farmasi ITB yang membeberkan fakta itu. Doktor farmakologi itu menguji toksisitas akut pada mencit, Maret 2005.
Dosis pemberian itu mengacu pada OECD di Jepang. Terdapat 26 parameter objek pengamatan seperti tremor (tubuh bergetar), writhing (berjalan dengan menyeret perut), katalepsi (gangguan kemampuan menggantung), dan grooming (kaki kerap menggaruk-garuk mulut).
Hasilnya? Persentase mencit jantan yang tremor, writhing, dan katalepsi sebesar 0% dan 66,7% grooming. Hal serupa pada mencit betina, dengan 33,3% grooming. Artinya dosis itu relatif aman. Takaran pada manusia berbobot 70 kg, misalnya setara 240 gram.
Riset toksisitas lain dari Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Farmasi) memperlihatkan, LD50 mencit jantan 2,687 g/kg bobot tubuh dan mencit betina, 6,714 g/kg bobot tubuh. Kesimpulan: dosis buah merah yang dianjurkan cukup aman, meski butuh riset lagi untuk mengetahui efek akumulasi konsumsi.