Sejatinya, Uyung adalah pehobi memancing. Saban pekan, pada setiap Ahad, pria yang berdomisili di Kelurahan Srengsengsawah, Jakarta Selatan, itu meluangkan waktu memancing mujair Oreochromis sp dan mas Cyprinus carpio di sebuah telaga di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Bekal umpan mancing, terdiri atas campuran berbagai bahan seperti indomi, telur bebek, susu manis, dan ikan tuna kaleng. Selain itu, terdapat satu bahan wajib ada yang perlu dicampurkan: telur semut alias kroto. Tanpa itu, mustahil bagi Uyung membawa pulang 3-5 kg ikan setiap kali memancing.
Kroto tak sulit didapat. Telur semut rangrang Oecophylla smaragdina itu dijual oleh penjual pakan burung dan toko asesoris pancing. Kualitasnya tidak selalu bagus. Warna kroto agak kehitaman dan terselip banyak semut rangrang mati. Yang dibutuhkan kroto kualitas super, putih mirip butiran beras. Namun, bagi Uyung harga 1/4 ons setara 25 gram kroto kualitas super cukup mahal, mencapai Rp30.000-Rp35.000 atau Rp100.000/kg. Maka dari itu, sejak 12 tahun lalu ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemburu kroto.
Senjata berburu kroto sederhana: bambu, kukusan-alat pengukus nasi dari anyaman bambu berbentuk segitiga, dan jaring. Ujung kukusan dipotong sepanjang 15 cm. Lubang yang terbentuk di ujung kukusan itu kemudian dipasangkan jaring. Berikutnya kukusan diikat tali pada ujung bambu yang panjangnya bisa mencapai 8-10 meter. Setelah alat siap, Uyung mulai berjalan kaki mencari pohon yang ditinggali semut angkrang-sebutan di Jawa.
Lokasi perburuan kroto tak jauh dari rumah Uyung. Maklum wilayah Srengsengsawah masih hijau, banyak rerimbunan pohon. Semut rangrang suka tinggal di pohon alpukat, rambutan, mangga, dan beringin. Pohon-pohon itu umumnya berdaun agak lebar, tak bergetah, dan bertajuk agak rapat.
Menurut Uyung, pekerjaan mencari kroto berisiko digigit semut. Yang paling sakit saat semut itu mengigit kulit lantas menyemburkan racun, asam format. Rasanya pedas dan perih di kulit. Tidak ada ramuan atau obat untuk menghindari gigitan semut. Jadi memakai balsem, obat gosok, sampai oli tetap saja digigit. Paling banter saat si semut jatuh di atas tubuh, Uyung mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusirnya. Kadangkala ia sampai berjingkrak saat sejumlah semut menelusup ke dalam baju atau celana.
Kroto tak hanya disukai pemancing sebagai umpan. Pehobi burung kicauan juga memanfaatkan. Zahdi di Beji, Kotamadya Depok, Jawa Barat, misalnya selalu memberi sesendok makan kroto setiap hari pada seekor kacer dan perkutut serta 2 ekor murai koleksinya. Zahdi menjelaskan, tanpa pakan kroto suara muraibatu terdengar serak dan bulunya jadi kusam. Kroto itu diberikan tunggal tanpa campuran bahan lain.
Menurut Prof Dr Johan Iskandar burung terutama dari jenis pemakan serangga di alam pun memang memakan semut berikut telurnya-kroto. Salah satu jenis burung itu adalah burung pelatuk. Burung yang menjadi ikon serial kartun dunia wodywood packer itu mematuk sarang semut lalu menjulurkan lidahnya untuk menjerat para semut dan kroto.
Ahli burung dari Universitas Padjadjaran itu menjelaskan, untuk burung berkicau seperti murai yang bertipe pemakan serangga, kroto dapat diberi sebagai pakan.
Soal moncer bersuara lantaran kroto Johan menduga karena kroto kaya protein. Protein itu turut andil memperbaiki sistem metabolisme dan hormon pada tubuh sehingga burung lebih fit. Saat kondisi bugar itu, ia bakal moncer berbunyi. Penelitian pakan oleh Roni Ridwan dan Nahrowi, masing-masing dari Puslitbang Bioteknologi LIPI dan Ilmu Nutrisi Makanan Ternak IPB mengungkapkan, kroto memiliki kandungan protein kasar sebesar 53,16%. Jumlah itu lebih tinggi daripada ulat hongkong (48,28%), tetapi di bawah jangkrik (73,05%).
Pasar burung merupakan penyerap kroto terbesar. Fakta itu terungkap saat menelusuri 3 pasar burung besar di sejumlah kota seperti Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur dan Pasar Burung Sukahaji, Bandung, Jawa Barat. Supiyah di Pasar Sukahaji bisa menjual 30 kg/hari kroto asal Lampung, Subang, Banjar, hingga Tasikmalaya. Ia membeli seharga Rp55.000/kg dan menjualnya Rp80.000-Rp85.000/kg.
Setidaknya masih ada 2-3 pedagang kroto seperti Supiyah. Di Pasar Pramuka, Bambang menjual kroto super 10 kg/hari. Pedagang pakan khusus kroto itu mendapat suplai dari Lampung. Kroto-kroto itu dijual dalam besek anyaman bambu masing-masing berisi 1 kg kroto.
Ada persamaan di antara para pedagang itu, haram menahan kroto sampai berhari-hari. Paling bagus, barang datang dan habis terjual. Harap mafhum, bila lewat sehari kroto sudah berbau, apalagi bila kualitasnya rendah. Kecuali kroto super yang masih bisa disimpan di lemari pendingin, kualitas rendah yang tak laku pada hari itu lantas dikeringkan untuk menjadi bahan campuran untuk voer burung.
Sumber kroto masih bersandar pada alam. Kondisi itu yang dikhawatirkan dapat menganggu keseimbangan populasi semut. Sebuah sarang yang telah dipanen pemburu tak lagi akan ditinggali semut. Mereka mengungsi ke tempat lain yang lebih aman. Kroto yang diproduksi ratu semut pun sesungguhnya merupakan penerus keturunan dari koloni. Artinya saat telur-telur itu terus dieksploitasi, kapan semut-semut itu sempat beregenerasi?
Padahal peran semut rangrang demikian besar. Sejarah menunjukkan semut rangrang sudah dipakai sejak tahun 300 Masehi di China sebagai pelindung tanaman jeruk. Ia menjaga jeruk dari serangan hama seperti kutu.
Hal sama dilakukan pekebun di Banyuwangi, Jawa Timur, untuk melindungi tanaman-tanaman jeruk dari serangan kutu daun dan kutu putih yang doyan menetap di pucuk-pucuk tanaman. Pun kebun-kebun kopi di Lampung sudah mengunakan jasa semut rangrang sebagai tameng dari hama.
Sejauh ini upaya menernakkan kroto berkali-kali dicoba, tapi hasilnya bak jauh panggang dari api. Agung di Jawa Timur, misalnya sejak 2007 sudah mencoba menternakkan semut dengan berbagai media seperti sisa mi dan tepung kedelai. Sayang, upaya itu belum memberikan hasil bagus. Media itu malah cocok untuk menghasilkan mrutu, sejenis serangga seperti nyamuk untuk pakan walet Collocalia fuciphaga.
Toh, upaya memproduksi kroto bukan meluntur. Saat ini sudah banyak pelatihan memproduksi kroto skala rumah. Semuanya tampak begitu gampang! Padahal tanpa mengetahui sifat biologi dan habitat sang semut, mustahil upaya itu bisa berhasil (Dian Adijaya Susanto).
Riwayat penulis: Penulis pernah menjabat Redaktur di Majalah Pertanian Trubus. Penulis yang alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam bidang Biologi Konservasi itu juga pernah menangani Unit Pengembangan Bisnis, Pemasaran, dan Promosi Pertanian serta konsultan.Â