Sebutannya persis seperti nama salah satu provinsi di Barat Pulau Jawa, yakni Banten. Namun di Bali, banten bermakna pemberian sesajen pada dewa.
Seperti termaktub dalam wacana Bhagawan Dwija, Maha Resi Markandeya adalah orang yang pertamakali memperkenalkan banten kepada penduduk di sekitar tempatnya bertapa di Desa Puakan, Taro-kini menjadi Kecamatan Tegallalang di Gianyar-pada abad ke-8.
Sesajen kepada dewa itu menggunakan berbagai unsur tetumbuhan dengan pilihan aneka warna. Warna-warna itu merupakan personafikasi kedudukan para dewa penguasa arah mata angin.
Dewa-dewa penguasa arah mata angin itu seperti Dewa Ishvara di Timur (putih), Dewa Brahma di Selatan (merah), Dewa Mahadeva di Barat (kuning), dan Dewa Wisnu di Utara (hitam). Yang lain Dewa Mahesora di Tenggara (merah muda), Dewa Rudra di Barat Daya (jingga), Dewa Sangkara di Barat Laut (hijau), Dewa Sambhu di Timur Laut (abu-abu), dan Dewa Siwa di Tengah (warna campuran).
Di Pulau Dewata melihat banten menjadi sesuatu yang lumrah. Banten-banten itu diletakkan antara lain di pura, mobil, dan pelataran rumah. Itu salah satu wujud penghormatan penduduk Pulau Bali pada para dewanya.