May Day, 1 Mei, boleh jadi menjadi hari paling diwaspadai sepanjang tahun oleh pemerintah mengingat buruh hampir pasti akan menguasai kota untuk berunjuk rasa. Wajar sebab kaum buruh dari waktu ke waktu selalu menjadi massa yang paling diwaspadai lantaran kesolidan dalam menggalang kekuatan.
Namun benarkah suara buruh untuk turun ke jalan atas keinginan sendiri dari hasil mufakat internal? Sebagian besar buruh sepakat mereka harus bersatu untuk menuntut kesejahteraan hidup dan peningkatan taraf hidup yang layak. Namun ada riak dan mozaik kecil dalam kesolidan suara mereka yang justru berada dalam titik simalakama.
Ketika beberapa perusahaan menetapkan upah kerja harian, buruh yang dipaksa turun ke jalan harus berpuasa untuk tidak berpenghasilan pada hari ketika mereka “dipaksa” melakukan demonstrasi. Bayangkan saja ketika aksi serupa dilakukan selama tiga hari, maka buruh itu tidak akan berpenghasilan selama waktu tersebut.
Mahar (25) buruh di kawasan Cikarang Bekasi mengatakan, ia sering dipaksa untuk ikut turun ke jalan berdemonstrasi. “Tiap kali ada demo, pabrik diperiksa, kami disuruh ikut demo, kalau tidak ikut demo, pabrik dirusak,” kata ayah satu anak itu. Ia bersama rekannya tidak pernah menginginkan gaji besar dan tuntutan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang muluk. “Dapat duit sudah syukur,” katanya.
Kesolidan suara buruh selalu tampak merupakan hasil permufakatan atas mereka sendiri meski pada kenyataannya ada riak yang jarang diungkap. Dalang yang sanggup menggerakkan buruh lantas dicurigai memiliki motif tertentu karena selama ini berkembang anggapan siapa pun yang menguasai massa buruh, maka kekuasaan ada di tangannya.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membantah dirinya memiliki motif mengejar kekuasaan atau meminta jatah kursi pada partai penguasa atau siapapun yang menjadi pemenang pemilihan umum. Ia mengatakan, gerakan buruh bukan politik transaksional atau meminta jatah kursi pada pemimpin terpilih meskipun sudah menyatakan dukungan kepada pemimpin itu sebelum pemilu.
“Kita tidak akan bicara transaksional, bicara jumlah kursi, tapi kita bicara kriteria siapa pun yang mau kontrak politik dan memenuhi tuntutan kami, kita dukung untuk memobilisasi kemenangan mereka,” kata Said Iqbal.
Meski menekankan perlunya konsolidasi suara buruh, ia menegaskan tidak akan melakukan politik transaksional kepada siapa pun yang menjadi pemenang pemilu. Namun ia tidak menampik jika idealnya kursi tertentu dalam parlemen harus diduduki oleh aktivis buruh yang mengerti kepentingan dan kebutuhan buruh di Indonesia.
Menurut Said, calon pemimpin bagi buruh adalah mereka yang memenuhi kriteria seperti mau memperjuangkan buruh. “Artinya ketika ada pemilihan umum yang menentukan nasib bangsa, buruh harus berkonsolidasi untuk menentukan sikap dan dukungan kepada calon pemimpin yang memiliki perhatian pada buruh, bahkan bersedia melakukan kontrak politik,” katanya. Ia menambahkan calon pemimpin yang diusung oleh buruh jika ingkar janji akan dijatuhi sanksi sosial berat, seperti mogok nasional jilid tiga.
Said Iqbal dan gerakannya sudah menyatakan diri untuk tidak akan berhenti berjuang demi kepentingan buruh. Bahkan pihaknya menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) khususnya DKI Jakarta menjadi Rp3,7-juta pada 2014 dari UMP Rp2,2-juta. Menurut dia KHL yang ada selama ini, yakni 60 item sudah tidak layak dan harus direvisi menjadi 84 item, termasuk isinya televisi, pulsa, parfum, dan bedak.
“Parfum dan bedak memang terdengar sinis tapi itu fakta kebutuhan yang harus dibayar oleh buruh perempuan kita,” katanya. Namun di sosial media, Said Iqbal dan gerakannya banyak dikecam mengingat rincian KHL yang justru dinilai tidak masuk akal dan cenderung tidak mewakili kebutuhan nyata buruh yang sebenarnya.
Salah satu pengguna facebook Bahdad dalam akunnya mengecam tuntutan Said yang sangat mungkin membuat perusahaan padat karya hengkang dari Indonesia lantaran kesulitan membayar upah buruh yang terlalu tinggi. Ia mencontohkan KHL yang dituntut Said tidak masuk akal, misalnya dalam hal 30 item (kasur, sprei, meja, lemari, kipas angin, dan perlengkapan makan) sebesar Rp300.000. “Tidak setiap hari buruh beli kasur, sprei, dan perlengkapan makan baru,” katanya.
Ia juga mengecam tuntutan item PAM sebesar Rp100.000 yang dianggapnya mengada-ada, mengingat sebagian besar buruh mengontrak di rumah petak dengan fasilitas air tanah. Selain itu perhitungan uang transportasi, yakni angkot (dua kali) masing-masing Rp12.000 selama 30 hari plus transportasi busway Rp7.000 selama 30 hari sehingga jumlahnya Rp570.000 juga tidak masuk akal. “Jarak dari rumah ke pabrik tidak sejauh itu sehingga tidak harus naik angkot dua kali dan naik busway. Apalagi buruh  tidak kerja 30 hari sebulan,” ujarnya.
Suara itu kemudian menjadi mozaik yang membuat gerakan buruh semakin dinamis di tanahair. Mereka boleh jadi terlihat solid hingga ditakuti meski ketika ditelisik lebih dekat, nasib buruh masih saja terjebak dalam titik simalakama (Hanni Sofia).
Riwayat Penulis: Hanni Sofia adalah master art of  journalism dari Ateneo de Manila University. Saat ini ibu 3 anak itu adalah pewarta ekonomi di desk ekonomi mikro meliputi kewirausahaan, pariwisata, ekonomi kreatif, koperasi, UKM dan tekno di Kantor Berita Antara di Jakarta. Perempuan yang sudah 9 tahun berkecimpung di dunia pers dan sangat menggemari jalan-jalan itu saat ini adalah kontributor www.bebeja.com.Â