Ini kisah mengenang Masanobu Fukuoka (2 Februari 1913-16 Agustus 2008), pelopor pertanian organik asal Jepang yang bisa menjadi inspirasi bagi petani dan konsumen organik di tanahair.
Musim dingin di sebuah ladang di dusun Ohito, Pulau Shikoku, Jepang, terlihat berbeda. Di saat petani lain berhenti berladang, batang-batang padi di ladang Masanobu Fukuoka terlihat gemah ripah loh jinawi.
Lahan di lembah berbukit itu diselimuti padi menguning. Anugerah dewi Amaterasu Omikami tersebut sama sekali tak tersentuh bajak, pestisida, dan pupuk kimia. Semuanya bergerak mengalir mengikuti irama alam.
Selama bercocok tanam tak pernah sekalipun Masanobu Fukuoka memakai kompos. Saluran irigasi pun tidak dijumpai. Tanah kebunnya bahkan dibiarkan tidak diolah selama 25 tahun. Saat musim tanam tiba, bulir-bulir padi langsung ditebar di antara mulsa jerami.
Bulir padi tersebut dibiarkan jatuh sendiri menyentuh tanah. Tidak ada jarak tanam tertentu seperti dipakai saat ini. Untuk mengatasi gulma saat merawat tanaman, Masanobu memilih memakai semanggi putih. Sederhana, tapi terbukti dengan hasil panen jauh lebih baik daripada ladang sejenis yang paling modern di Jepang sekalipun.
Pelopor pertanian organik di Jepang itu menerapkan metode bertani alami untuk mencegah kerusakan alam. Tertuang di buku best seller Revolusi Sebatang Jerami, cara itu ditempuh semata-mata karena pakar mikrobiologi itu miris melihat kualitas tanah pertanian yang terus menurun. Apalagi terdapat kecenderungan masyarakat Jepang mulai melupakan pertanian. Padahal Jepang di masa lalu tenar dengan sebutan Toyoashihara no Mizuho no Kuni atau negeri untaian makmur padi.
Tidak sia-sia 40 tahun merintis pertanian alami, konsep Masanobu mulai dipakai oleh petani di seantero Jepang untuk beragam sayuran mesti metodenya tidak sekaku Masanobu. Salah satu yang menerapkan adalah Shinji Hashimoto, petani sayuran di Kobe. Setelah berguru selama 2 tahun pada Yoshinori Kaneko, salah satu perintis tei kei-sistem penjualan sayuran organik di Jepang-ia mengembangkan beragam sayuran di kebun seluas 2 hektar.
Shinji lantas menanam beragam sayuran seperti kacang-kacangan, mizuna, komatsuna, wortel, bawang hijau, dan kembang kol di petak-petak berukuran 2 m x 20 m. Semua diberi rabuk berupa kompos. Kompos dibuat dari gabah yang telah dikeringkan, pangkasan tanaman, dan kotoran ayam sebanyak 5%. Semua bahan itu dicampur dan diberikan 4-5 kali dalam 10 minggu.
Hama cukup dikendalikan dengan metode pergiliran tanaman. Hal serupa dilakukan oleh petani lain di Kobe. Bahkan para petani organik tersebut dikenakan wajib lapor kepada Nippon Yuki Nogyo Kenkyukai, semacam perkumpulan petani organik. Pengurus perkumpulan itu saban tahun sebanyak 2 kali ketika musim semi dan musim gugur akan mengunjungi lahan petani.
Sejatinya, lahan pertanian di Jepang tidak besar, hanya 15% lahan dari total keseluruhan dipakai untuk bercocok tanam. Namun berkat Masanobu Fukuoka, kini hampir 80% pertanian dikelola secara organik.
Hal tersebut berbanding terbalik di saat masa perang dunia ke-2. Ketika itu para petani begitu yang mendewakan bahan dan obat kimia yang berujung kepada kerusakan lingkungan. Namun seiring timbulnya kesadaran seperti dipelopori Masanobu Fukuoka, petani dan konsumen sayuran di Jepang sadar akan pentingnya memiliki lingkungan dan kesehatan yang baik.
Konsumen organik di Jepang paling banyak di dunia. Menurut data Japanese Organic Agriculture Association (JOAA) di Tokyo saja tercatat 150.000-200.000 konsumen organik. Untuk seluruh Jepang setidaknya 3-5% dari total populasi merupakan konsumen organik. Semua kebutuhan itu dipenuhi oleh sekitar 3.000 petani organik di seluruh penjuru Jepang.
Supaya seluruh konsumen itu terlayani, salah satu pengagas pemasaran produk organik, Yoshinori Kaneko memperkenalkan sistem tei kei. Dengan sistem itu penjualan produk organik dapat dilakukan langsung sehingga antara produsen dan konsumen bisa bertatap muka.
Sistem lain yang dipakai adalah pengiriman langsung. Setiap konsumen memang terikat kontrak. Salah satu perusahan penyedia jasa kirim itu, Seikatsu Club dengan 214.000 pelanggan di seluruh Jepang. Supaya pesanan terpenuhi, Seikatsu menjalin kerjasama dengan sekitar 1.500 petani.
Di Jepang. standar pangan organik sangat ketat, melebihi standar Codex Alimentrius Commission (CAC) dan International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM). Hal itu bertujuan agar semua produk organik bisa memberi manfaat bagi konsumen dan petani seperti dirintis Masanobu Fukuoka.