Bagi Suwandi, daun pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis yang dijumpai tumbuh liar di lapangan atau ladang berarti penting.
Tumbuhan dengan beragam panggilan seperti jarong, daun sangketan, ki meurit beureum, sekar laru, ngadirenggo, remek getih, rumjarum, laler mengeng, dan sangko hidung itu adalah obat sesak napasnya sejak 2010. “Hampir 15 tahun saya menderita sesak napas,” ujar wiraswasta di Serang, Provinsi Banten itu.
Setiap 3 hari sekali, ayah 2 anak itu akan merebus 20-30 lembar daun pecut kuda dalam wadah tanah liat dengan 5 gelas air hingga tersisa 3 gelas. Setiap kali konsumsi, Suwandi meminum setengah gelas, pagi dan malam hari. “Sekali buat untuk 3 hari. Tinggal menghangatkan saja bila ingin minum,” ujarnya.
Sejak rutin mengonsumsi itu Suwandi merasakan daya tahan tubuh lebih baik. Penyakit seperti batuk dan flu nyaris tak pernah datang. “Sesak napas saya biasanya terpicu karena datang batuk dan flu,” kata alumnus Universitas Tirtayasa itu.
Pengalaman Suwandi itu, sejalan dengan penelitian Scahoval dan rekan seperti tertuang dalam Jurnal Ethnopharmacol Volume 60 pada 2008. Scahoval yang meriset tumbuhan pecut kuda secara etnobotani menjumpai tumbuhan itu secara turun-temurun dipakai sebagai tanaman obat untuk penyakit sesak napas.
Bahkan terungkap pula khasiat lain sebagai penghilang nyeri, obat cacingan, obat bengkak, obat alergi, hingga obat diare. Sebagai obat diare, misalnya, riset Sashidaran dan rekan pada 2007 membuktikan pecut kuda berpotensi sebagai obat antidiare untuk dikembangkan secara fitofarmaka.
Penelitian itu memperlihatkan pemakaian dosis 250 dan 500 mg/kg sari metanolik daun pecut kuda secara signifikan mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab diare, yakni Escherichia coli serta bakteri lain Staphylococcus epidermis dan Pseudomonas aeruginosa.