Prospek agribisnis Indonesia pada 2013 relatif lebih baik dibandingkan kondisi pada 2012 yang penuh drama, karena dampak kekeringan di negara besar produsen pangan, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Australia.
Di belahan bumi lain, Brasil sebagai salah produsen gula dan kedelai terbesar di dunia juga sedang mengalami anomali cuaca yang relatif basah, yang sempat membuat harga menjadi liar.
Cerah atau suram produksi pangan sebenarnya banyak ditentukan oleh kesungguhan pemerintah sebagai pemilik kewenangan eksekusi, beserta seluruh pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun serta melaksanakan rencana pembangunan pertanian. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih, apalagi berambisi mencapai target besar, swasembada untuk lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi pada 2014.
Kenaikan produksi beras sampai 4,3% pada 2012 mungkin berlanjut pada 2013, walaupun masih tergantung pada sistem insentif yang diberikan pada petani padi, plus upaya besar perbaikan infrastruktur irigasi, drainase, dan strategi adaptasi perubahan iklim.
Akan tetapi, target swasembada beras mungkin relatif paling aman, walaupun untuk memenuhi surplus sampai 10-juta ton pada 2014 sulit tercapai. Terlalu sulit untuk menghentikan laju konversi lahan sawah subur menjadi kegunaan lain, serta untuk mengejar perbaikan sistem infrastruktur irigasi yang rusak cukup parah, jika tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan pemerintah pusat sampai daerah.
Target swasembada gula 4,2-juta ton hampir pasti tidak tercapai pada 2014 karena persoalan kelembagaan yang melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usaha tani di hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai pada misteri struktur pasar dan pemasaran.
Target swasembada kedelai 2,5-juta ton pada 2014 juga sulit tercapai karena fenomena dekedelisasi di Indonesia demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Pada 2012, areal panen kedelai menurun drastis sampai pada laju 6%/tahun dan kini hanya tinggal 567.000 hektar.
Produksi kedelai menurun terus dengan laju lebih dari 6% dan kini hanya mencapai 780.000 hektar. Sekadar perbandingan, lahan kedelai pernah mencapai 1,4-juta hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8-juta ton pada awal 1990-an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan agribisnis kedelai rusak karena inkonsistensi para pemimpin di negeri ini. Siapa pun harus bersikap realistis karena sulit membalikkan keadaan seperti negeri dongeng.
Produksi daging sapi 2011 diperkirakan mencapai 280.000 ton, dan masih cukup jauh dari angka konsumsi yang mencapai 400.000 ton/tahun. Akibatnya, Indonesia perlu mengimpor sapi dari Australia sebanyak 300.000-500.000 sapi hidup (30-40% dari total). Yang menarik dari statistik sapi adalah Hasil Sensus Sapi pada 2011 menunjukkan bila populasi sapi (dan kerbau) mencapai 15-juta ekor.
Jumlah itu sebenarnya lebih tinggi dari estimasi selama ini 13,5-juta ekor. Jika data BPS benar, Indonesia seharusnya mencapai swasembada daging, sehingga tidak menunggu sampai 2015.
Faktanya Indonesia masih mengimpor sapi hidup dan bahkan daging sapi, yang sering menimbulkan pertanyaan kritis dari masyarakat. Pada 2012, ekonomi daging sapi diperkirakan mengalami perubahan radikal karena perbedaan data dan kebijakan yang demikian tajam.
Ekonomi daging sapi mirip dengan ekonomi beras, bahwa persoalan ada pada estimasi kebutuhan daging dan rente ekonomi (politik) impor sapi (dan daging sapi). Langkah awal untuk membenahi dengan memperjelas berbagai ketidakpastian tentang data produksi dan konsumsi daging sapi, sehingga target swasembada daging bisa diprediksi lebih akurat (Disarikan dari Majalah InfoBank edisi Oktober 2012 oleh Bustanul Arifin).