Usia Tina Hamid memang tidak muda lagi. Pada Oktober 2016, perempuan wirausaha kerajinan tangan di Serpong, Tangerang, Provinsi Banten tersebut menapaki usia 54 tahun.
Pada umur itu, ibu 2 putri tersebut sudah mengalami menopouse. “Saya pertamakali menopouse pada umur 48 tahun,” ujar Tina. Tiga tahun pascamenoupose, tidak ada masalah hingga pada 2015 ia terpeleset jatuh saat menaiki tangga rumah kerabat.
Selain memar di kaki, tangan kanan Tina juga patah. Tak disangka proses penyembuhan tangan patah itu cukup lama hingga 5,5 bulan. “Dokter bilang karena saya menderita osteoporosis atau rapuh tulang,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta itu. Tina pun menjalani sulih hormon untuk meningkatkan kadar hormon estrogen.
Penyakit osteoporosis merupakan penurunan massa tulang karena berkurangnya matriks dan mineral tulang yang berujung pada melorotnya kekuatan tulang sehingga mudah patah.
Penyakit itu memang berisiko pada usia lanjut, terutama pada perempuan yang prosesnya lebih cepat dengan tingkat keparahan lebih besar daripada pria. Hal itu tak lepas dari menurunnya kadar hormon estrogen di tubuh perempuan pascamenopouse.
Pada kasus Tina, osteoporosis yang terjadi merupakan osteroporosis primer karena dipicu oleh hormon. Berbeda dengan osteoporosis sekunder yang terpicu oleh aneka faktor seperti gaya hidup konsumtif, merokok, alkohol. Osteoporosis sekunder bisa menimpa perempuan pada kisaran umur 25-35 tahun. Jadi tak selalu harus berusia lanjut dan menopouse.
Terapi sulih hormon yang dilakukan Tina merupakan upaya menaikkan kadar hormon estrogen di tubuh. Terapi tersebut biasanya memakai estrogen sintetik. Sayang, estrogen sintetik itu dapat berefek samping pada pemakaian jangka panjang seperti kanker payudara dan kanker serviks.
Itu sesungguhnya yang ditakutkan Tina. “Seorang teman di Semarang yang menjalani sulih hormon menderita kanker payudara,” katanya. Untungnya, kanker payudara sang teman tersebut masih stadium awal sehingga bisa segera ditangani memakai obat. Namun bagi Tina, pemakaian obat kimia bila kondisi itu terjadi juga dihindari. “Saya malah dapat saran teman di Malaysia untuk mengonsumsi leunca,” tuturnya.
Leunca itu dibuat jus. Caranya 7-10 leunca diblender dengan segelas air. “Diminum sekali setiap 2-3 hari,” ujarnya. Sekitar 2 bulan rutin mengonsumsi, Tina merasakan kondisi tubuh lebih baik. Ia tak takut lagi berjalan menaiki dan menuruni tangga, bahkan melakukan aktivitas fisik berisiko bagi penderita osteoporosis. Yang lebih membuatnya gembira, Tina bisa menghentikan terapi sulih hormon.
“Sehabis 2 bulan konsumsi, saya benar-benar berhenti terapi,” ujar Tina. Pada saat berhenti itu, ia juga melakukan pemeriksaan terhadap payudara dan serviks dan hasilnya tidak ada indikasi kanker. “Sampai sekarang saya masih rutin mengonsumsi jus leunca,” ujar Tina.
Riset Ipak Ridmah Rikenawaty dari Program Magister Herbal, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia pada 2012 memperlihatkan, leunca Solanum nigrum mempunyai kandungan isoflavon yang bisa menjadi bahan estrogen alami. Bahkan studi terbaru menunjukkan perannya sebagai selective estrogen receptor modulator.
Senyawa isoflavon yang merupakan fotoestrogen mayor dengan struktur kimia 17 beta-estradiol tersebut mampu menyeimbangkan jumlah sel osteoklas (penyerapan tulang) dan sel osteoblas (pembentukan tulang). Pada penderita osteoporosis, jumlah sel osteoklas lebih besar ketimbang sel osteoblas sehingga tulang rapuh dan mudah patah.