Gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus merupakan subspesies gajah asia yang hanya dijumpai di Pulau Sumatera.
Pascaperiode zaman es pada 200.000 tahun silam, Pulau Sumatera yang terpisah dari daratan Asia memunculkan spesiasi-menjadi subspesies-aneka jenis satwa, termasuk gajah sumatera.
Benua Asia mempunyai 4 subspesies gajah tersisa pasca periode zaman es, yakni Elephas maximus maximus (Srilanka dan India Selatan), Elephas maximus indicus (India Utara sampai bagian tengah serta timur, Myanmar, Thailand hingga Semenanjung Malaya), Elephas maximus sumatranus (Pulau Sumatera), dan Elephas maximus borneensis (Pulau Kalimantan).
Khusus gajah sumatera, populasinya ditaksir 2.400-4.800 ekor pada 1985. Populasi itu melorot menjadi 1.700-2.000 ekor pada 2016. Anjloknya populasi gajah itu dipicu oleh perubahan tutupan lahan hutan (wilayah alami) menjadi wilayah perusahaan serta masyarakat.
Bayangkan sekitar 85-90% daerah jelajah gajah sumatera pada 2018, diketahui berada di wilayah nonkonservasi seperti kawasan konsesi (Hak Guna Usaha) perusahaan dan masyarakat, pemukiman hingga di daerah infrastruktur pemerintah seperti waduk (PLTA), terutama di daerah dataran rendah.
Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2012 menetapkan gajah sumatera sebagai spesies sangat terancam punah, satu tingkat di bawah kategori punah (critically endangered species).
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan juga menetapkan gajah sumatera sebagai satwa dilindungi berdasarkan PP No 20 Tahun 2018 sebagai kelanjutan PP No. 7 Tahun 1999 sebagai hewan yang tidak boleh diburu, dibunuh, bahkan diperdagangkan.
Seiring waktu ruang habitat gajah kini kian menyempit dan terisolasi akibat pembangunan jalan, pemukiman serta infrastruktur lain dan kebun yang dibatasi oleh penghalang gajah. Kondisi tersebut memicu degradasi variasi genetik akibat perkawinan kerabat dekat gajah.
Sejumlah ancaman terhadap populasi gajah sumatera memerlukan perhatian lebih serius seperti konversi lahan (dominan), konflik gajah dan manusia, perburuan, pencemaran lingkungan dan penyakit.
Sebagai gambaran, di Riau, perbandingan jumlah kasus konflik gajah dan manusia dan perburuan mempunyai persentase sama yaitu 50% (data 2003-2017). Jumlah angka kematian akibat konflik mencapai 56% dan 34% akibat perburuan. Sisanya sekitar 20% terjadi akibat gajah sakit.
Selain di Riau, konflik gajah dan manusia juga dilaporkan terjadi di Aceh, Jambi, dan Lampung. Gajah umumnya menerobos ke area konsesi kebun untuk mencari pakan. Pada sejumlah kasus, masuknya gajah itu juga dibarengi dengan perusakan pemukiman. Hal itu yang membikin konflik gajah dan manusia semakin meruncing yang acapkali berujung korban nyawa di antara kedua belah pihak berkonflik.
Gajah juga sangat rentan diburu lantaran gadingnya bernilai ekonomis tinggi. Perburuan itu dilakukan dengan cara meracun hingga menembak gajah seperti terjadi di Aceh, Riau, Jambi, dan Lampung.
Meski begitu, mayoritas kasus perburuan gading gajah tidak sampai ke ranah hukum, meski segelintir bisa diperkarakan dan pelakunya di hukum seperti pada kasus perburuan gading gajah di Aceh pada 2017 yang menetapkan pelakunya di bui selama 7 bulan. Pun kasus kepemilikan senjata api untuk berburu gajah yang menghukum pelakunya hingga 12 tahun kurungan seperti terjadi di Riau pada 2006.
Sejumlah langkah pemulihan populasi dan habitat gajah sumatera perlu terus ditingkatkan mulai dari monitoring terhadap ancaman gajah untuk mengurangi konflik gajah dan manusia, penguatan serta penegakan hukum terutama bagi perdagangan organ tubuh gajah, penataan ruang gerak bagi gajah dan manusia di tingkat regional sampai tingkat desa, dan pemulihan atau restorasi habitat gajah di kantong habitat yang kritis.
Langkah pemulihan sudah dilakukan oleh berbagai pihak dan elemen masyarakat terutama di sejumlah lokasi penting gajah seperti di kantong populasi dan habitat gajah di Aceh Timur, Aceh Tengah dan Aceh Utara, Riau bagian Utara dan Tengah, Jambi bagian Barat (landskap Bukit Tigapuluh), Sumatera Selatan bagian Utara dan Lampung Selatan, serta Lampung Timur. Pemulihan juga akan dilakukan di Sumatera Selatan bagian Timur, yaitu Padang Sugihan dan Seblat.
Dukungan pemerintah daerah, perusahaan, lembaga nirbala, institusi penelitian, dan kelompok masyarakat memang menjadi kunci untuk menyelamatkan populasi gajah sumatera.
Penetapan status kawasan konservasi gajah (lokasi sanctuary) dalam status hutan produksi atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang baru dicabut atau selesai ijinnya, pengembangan kawasan ekosistem esensial atau restorasi ekosistem berbasis perlindungan gajah, penetapan tata ruang dan pengaturan komoditas kebun dan pertanian masyarakat serta pengembangan unit pemantau di masyarakat menjadi target penting konservasi gajah.
Upaya pemulihan populasi dan habitat gajah dapat menjadi pencapaian strategis pemerintah dalam mendorong ikon spesies penting tersebut sebagai spesies yang mendukung pemulihan ekosistem, sebagai satwa karismatik serta simbol budaya. Bahkan kehadirannya bisa mendongkrak ekonomi masyarakat melalui ekowisata berbasis gajah sumatera (Dr Wisnu Sukmantoro).
Riwayat penulis: Penulis merupakan alumnus biologi Universitas Padjajaran (Unpad) dan menyelesaikan tingkat doktoral pada konservasi gajah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini penulis merupakan anggota IUCN SSC-Asian Elephant Conservation Specialist.