Ini pengalaman Frederick Apus saat membeli tepung sagu di Pasar Palmeriem, Jakarta Timur pada suatu Ahad di pertengahan 2012. Mahasiswa asal Biak, Papua yang tengah merantau menuntut ilmu itu rindu menyantap papeda alias bubur sagu dengan bumbu kuah ikan. “Saya coba cari tepung sagu di pasar,” ujar pria 27 tahun itu.
Namun yang terjadi? Setiap kali Frederick meminta tepung sagu, yang diberikan selalu saja tepung tapioka. “Pedagang bilang ini tepung sagu,” katanya. Pehobi alat musik gitar itu paham betul sosok tepung sagu. “Tepung sagu warnanya tidak seputih tepung tapioka, dan terasa kasar bila dipegang,” ujar Frederick yang pada akhirnya batal membuat papeda itu.
Pedagang memang seringkali memberikan tepung tapioka saat konsumen meminta tepung sagu. Harap mafhum masyarakat mengenal tepung sagu itu sebagai tepung tapioka. Namun keduanya berbeda. Tepung tapioka berasal dari singkong Manihot esculenta, sedangkan tepung sagu diperoleh dari bagian tengah batang sagu Metroxylon sp.
Hingga pertengahan 1980-an tepung sagu yang beredar di pasar Pulau Jawa adalah tepung sagu sesungguhnya. Tepung sagu itu antara lain berasal dari panen sagu di sentra sagu seperti di Provinsi Banten dan Riau. Namun seiring waktu, pasokan batang sagu berkurang sehingga industri pengolahan tepung sagu banyak gulung tikar yang berimbas pada pasokan di pasar.
Walhasil, tepung tapioka masuk sebagai subsitusi akibat kelangkaan tepung sagu itu. Apalagi secara fisik, sosok pati singkong dan sagu nyaris bak pinang dibelah dua: putih dan bertekstur agak lembut.
Yang uniknya lagi seiring waktu, masyarakat menjadi salah kaprah dengan memaknai sagu sebagai tepung, seperti penyebutan sagu aren untuk tepung aren atau sagu mutiara bagi tepung mutiara.
Namun bagi yang sudah terbiasa memakai tepung sagu seperti Frederick, jelas kedua tepung itu berbeda, tepung sagu bukan tepung tapioka.