Terang Di Kasepuhan Ciptagelar

0
118
kasepuhan ciptagelar

Dunia dalam genggaman. Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut Abah Ugi, pemimpin adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, saat ini warga dapat memakai berbagai perangkat elektronik seperti telepon genggam.

Itu berkat setrum yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Cicemet. Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri atas 586 kampung dengan penduduk mencapai 4.600 kepala keluarga

Listrik yang mengalir melalui kabel twistik bermaterial tembaga putih itu berguna untuk mengisi ulang baterai telepon genggam. Tanpa listrik, telepon genggam itu hanya menjadi pajangan. “Dulu punya telepon percuma karena tidak bisa dipakai di sini,” kata Odir, warga kampung Ciptagelar yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH)  itu.

Kini pemandangan warga tengah mengirimkan pesan pendek dan menelepon menjadi hal biasa. Padahal 3-4 tahun lalu sulit menjumpai warga di kampung yang berjarak 90 km dari Kota Sukabumi itu memakai telepon genggam meskipun di Kasepuhan Ciptagelar telah berdiri sebuah Base Transceiver Station (BTS) salah satu operator telepon genggam.

kasepuhan ciptagelarSumber listrik berasal dari PLTMH Cicemet yang pembangunannya menelan biaya Rp340.719.000. Sebagian biaya itu sebesar Rp122.030.000 diperoleh dari swadaya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Sisanya hibah dari kedutaan besar Jepang melalui Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) senilai Rp218.689.000.

PLTMH yang memakai turbin cross flow dengan generator AC merek Stamford tipe two bearing generator itu dibangun selama 3 bulan sejak awal Maret hingga Mei 1997.

Menurut Supatja, penanggung jawab PLTMH Cicemet, pembangkit mikro hidro di ketinggian 1.050 m di atas permukaan laut itu memiliki kapasitas terpasang 80 kW. “Seiring waktu dan masalah penyediaan suku cadang kemampuan pembangkit turun menjadi 60 kW. Bahkan 5 tahun terakhir ini hanya mencapai 40 kW,” kata Supatja.

Meski demikian pembangkit yang sumber airnya berasal dari Sungai Cisono yang berhulu di Gunung Botol itu tetap mampu memasok air untuk pipa pesat atau penstock berdiameter 60 cm dengan panjang 27,5 m yang dibangun pada kemiringan 40 derajat. Itu lantaran debit air melimpah. Saat musim kemarau debit air berkisar 300 liter/detik dan musim hujan mencapai 500 liter/detik.

kasepuhan ciptagelarListrik yang dihasilkan generator dialirkan kepada rumah warga melalui  kabel twistik yang disangga tiang besi mengerucut dengan tinggi 7 m berdiameter 6 cm-4 cm-2 cm untuk jarak antartiang sepanjang 50 m. Bila jarak antartiang 30-40 m dipakai besi penyangga bergaris tengah 8 cm-6 cm-4 cm. “Jarak kabel sampai rumah Abah sekitar 2 km. Paling jauh bisa mencapai 8-10 km. Itu menjangkau 14 kampung di Desa Sirnaresmi,” kata Supatja. Jarak terdekat adalah Puskesmas yang terpisah 30 m dari rumah turbin berukuran 4 m x 3 m.

Listrik mikrohidro itu menyala mulai pukul 16.00-08.00 WIB. Namun, di rumah besar alias imah gede-tempat warga dan tamu berkumpul-dan tempat tinggal Abah Ugi yang menyala 24 jam nonstop. Warga Ciptagelar memang merasakan manfaat.

“Selain handphone, kami sekarang bisa memakai kulkas dan menonton televisi,” ujar Salim, warga Kampung Ciptagelar yang terdiri atas 80 kepala keluarga itu. Dengan kulkas, misalnya, beberapa warga dapat berjualan es yang dijajakan di warung dan sekolah dasar di Desa Sirnaresmi.

abah ugiMenurut Abah Ugi, dampak positif lain dari kehadiran listrik PLTMH yang ramah lingkungan itu, ia dapat membangun pemancar radio lokal, menyediakan komputer termasuk jaringan internet. “Kami ingin warga adat di sini maju pendidikannya tidak kalah dengan yang tinggal di kota,” ujar generasi ke-9 pemimpin adat Kasepuhan Ciptagelar itu.

Untuk mengelola PLTMH itu selaku pemimpin, Abah Ugi menetapkan biaya beban listrik melalui musyawarah dengan warga. Pada 1998 biaya per watt adalah Rp150. Seiring naiknya harga suku cadang  dan biaya operasional lain, harga per watt ditetapkan Rp300 pada 2007-2008. “Rata-rata setiap rumah memakai 0,5 ampere atau 100 watt,” kata Abah Ugi. Petugas yang ditunjuk akan memungut biaya setiap bulan. “Bagi warga yang belum mampu diberikan toleransi sekitar 1-2 bulan untuk membayar,” tambah Abah Ugi.

Anggaran terkumpul memang tak besar. Sebanyak 98% dana itu diperuntukkan untuk menggaji 4 karyawan pengelola turbin dan pemeliharaan rutin turbin setiap 11.000 jam. Beruntung warga Kasepuhan Ciptagelar paham manfaat besar PLTMH.

Maka saat generator rusak pada 2009, warga secara swadaya menggumpulkan dana untuk memperbaiki. “Butuh biaya Rp25-juta untuk memperbaiki. Dari dana masyarakat terkumpul Rp17-juta. Sisa kekurangan biaya itu ditanggung sementara oleh Abah,” kata Supatja.

Jauh sebelum PLTMH Cicemet berfungsi, sebagian masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul terutama di Kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, kerap mengalami byar pet setrum dari sungai. Kampung Ciptarasa merupakan lokasi imah gede dan tempat tinggal pemimpin masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul sebelum dipindahkan oleh Almarhum Abah Anom-ayah Abah Ugi-ke Kampung Ciptagelar pada Juli 2001.

kasepuhan ciptagelarPada 1996 Abah Anom membangun pembangkit listrik bertenaga diesel dengan kapasitas 2,5 kW sebelum berubah menggunakan PLTMH dengan kapasitas terpasang 120 kW. Pembangkit itu memanfaatkan aliran Sungai Cimaja dan Cisarua. “Saat musim kemarau setiap 2 hari sekali saling bergiliran padam lampu,” ujar Ujil. Saat itu yang mendapat penerangan  sekitar 7 kampung di Desa Sirnarasa.

Menurut Abah Ugi, sang ayah mempelopori pemakaian listrik secara mandiri sejak 1982. Saat itu Abah Anom membangun beberapa kincir yang yang memakai dinamo (keren) dengan daya listrik maksimal 100 watt. “Paling satu keren bisa dipakai untuk satu rumah saja,” ujar Abah Ugi. Hingga saat ini keren masih dipakai di beberapa tempat seperti tampak di samping rumah turbin Cicemet. Di sana 3 keren yang masih berfungsi baik.

Beberapa pihak luar yang peduli kampung adat ikut membantu pengadaan pembangkit listrik. Di Kampung Cisalimar, misalnya, dibangun PLTMH berdaya 30 kW bantuan dari Japan International Coorporation Agency (JICA).

Di Kampung Palajaran, IBEKA membangun PLTMH berdaya 11 kW. “Bantuan lain datang dari Kerajaan Jepang, UNDP, institusi pendidikan, dan bank pemerintah,” kata Abah Ugi yang menyebutkan beberapa warga Ciptagelar yang ahli merakit turbin telah dikirim membantu pembangunan PLTMH sejenis ke Aceh dan Kalimantan Timur (Dian Adijaya Susanto).

dian adijayaRiwayat penulis: Penulis pernah menjabat Redaktur di Majalah Pertanian Populer, Trubus. Beberapa rubrikasi: sayuran, obat tradisional, satwa dan ikan, serta eksplorasi pernah diasuhnya. Penulis yang merupakan alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Biologi Konservasi itu juga pernah menangani Unit Pengembangan Bisnis dan Promosi Pertanian dan konsultan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here