Beragam penemuan baru keragaman hayati di Kawasan Wallacea di Indonesia Timur terus terjadi. Setelah pada awal 2013 dijumpai spesies baru burung hantu dan dipublikasi, kini Pierre-Henri Fabre dari University of Copenhagen dan tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bogor, Jawa Barat, menemukan marga atau genus sekaligus jenis baru tikus hutan di Maluku Utara.
Tikus jenis baru itu ditemukan dalam perangkap yang dibuat oleh para peneliti di daerah perbukitan terpencil di Boki Mekot, Halmahera. Sosoknya mencuri perhatian para peneliti karena terlihat asing. Tikus itu memiliki rambut kasar abu-abu kecokelatan bagaikan duri pada punggung. Sementara, bagian perut tertutup oleh rambut abu-abu keputihan.
Melalui analisis DNA dan tampilan fisik seperti tengkorak dan gigi, para peneliti menyimpulkan bahwa tikus tersebut bukan hanya jenis baru melainkan juga marga alias genus baru. Nama jenis baru itu adalah tikus duri boki mekot Halmaheramys bokimekot, merujuk pada sosok dan lokasi penemuannya.
Temuan baru itu menggambarkan betapa sedikit kekayaan alam teridentifikasi di antara masalah besar menurunnya keragaman hayati akibat deforestasi, penambangan, hingga alih fungsi lahan.
Peneliti burung Peter Collaerts serta para pengamat burung dari Belgia dan Australia berhasil menemukan daerah sebaran baru elang flores Nisaetus floris. Selama ini, burung berstatus kritis tersebut hanya dijumpai di Flores, Sumbawa, dan Lombok serta di dua pulau kecil, yakni Pulau Satonda (dekat Pulau Sumbawa) dan Pulau Rinca (dekat Pulau Komodo).
Awalnya, para peneliti burung itu melihat sesosok elang bertengger di puncak pohon di salah satu punggung bukit, dekat Desa Wahwah, Kalabahi, Alor. Elang itu hanya bertengger sejenak, kemudian terbang. Untungnya para peneliti telah mendokumentasikan gambarnya dalam bentuk foto serta video. Dari hasil analisis foto dan video, para peneliti sepakat bila elang itu adalah Nisaetus floris.
Burung yang populasi diperkirakan kurang dari 100 pasang itu sekilas menyerupai elang brontok N. cirrhatus dengan perut dan dada putih serta sayap cokelat kehitaman berbercak putih. Bedanya, kepala elang flores cenderung putih, sementara itu elang brontok berubah cokelat saat dewasa.
Hasil pengamatan tim peneliti Belgia dan Australia menunjukkan, elang flores di Alor menghuni fragmen hutan tropis yang berbatasan dengan kebun Eucalyptus dan tanaman produksi lain. Habitat semacam itu kurang produktif sehingga elang flores di Alor diduga memiliki daerah jelajah luas dan kepadatan rendah.
Dengan ditemukannya elang flores di Alor ini, para peneliti menduga populasi kecil jenis sama kemungkinan juga dapat ditemukan di pulau-pulau yang menghubungkan Flores dengan Alor, yaitu Solor, Adonara, Lembata, dan Pantar.
Sebelumnya, Alor diketahui menjadi habitat populasi kecil burung kritis lain, yaitu kakatua jambul kuning Cacatua sulphurea serta beberapa jenis burung sebaran terbatas seperti ceret timor Bradypterus timorensis dan buntut-tumpul timor Urosphena subulata. Karena itu, upaya konservasi elang flores di Alor sekaligus bisa melindungi habitat burung lain di daerah itu (Tri Susanti).
Riwayat penulis: Penulis adalah Media & Communications Specialist Wallacea Ecosystem Profile Preparation. Alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada yang pernah menjadi wartawan di majalah pertanian terkemuka di Indonesia itu, menyukai kegiatan alam bebas dan konservasi satwa liar.Â