Cha No Yu merupakan tradisi meminum teh di Jepang yang maknanya air panas untuk teh yang disiapkan dan disajikan secara khusus.
Daisetz T Suzuki, penulis buku Zen and Japanese Culture menggambarkan alasan penting minum teh, “Seni teh mengajarkan lebih dari sekedar keharmonisan atau pun menjaganya dari kontmaninasi atau bahkan membiarkannya tenggelam ke dalam ketenangan kontempelatif”.
Jepang mengenal teh setelah para pendeta Budha dari China pada abad ke-6 menyebarluaskannya. Teh mendapat perhatian lebih khusus lagi semenjak kepulangan pendeta Zen bernama Eisai (1141-1215) pendiri sekte Rinzai dari Budha Zen di Jepang. Eisai pula yang memperkenalkan bubuk teh dan daun teh dari China. Bibit teh yang dibawa Eisai lantas ditanam oleh pendeta Myoe (1173-1232) di Kuil Kozanji di Kyoto bagian timur.
Sejak kapan tradisi Cha No Yu hadir? Adalah mahaguru teh Sen Rikyu (1522-1591) yang mengembangkan wabicha-tata cara menikmati teh yang merefleksikan rasa sederhana dan ketenangan dari teh. Hal tersebut yang diajarkan dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Cha No Yu mengajarkan prinsip penting Wa Kei Sei Jaku atau keharmonisan, penghormatan, kemurnian, dan keterampilan. Itulah yang menjadi karakter bangsa Jepang.
Beragam gaya Cha No Yu berkembang hingga hari ini. Namun dari sekian banyak keragaman tersebut, Cha No Yu yang dikembangkan oleh Sekolah Teh Urasenke yang saat ini dipimpin oleh Sen Soshitsu XVI, keturunan ke-16 dari Sen Rikyu, adalah paling populer. Walaupun teh berasal dari jenis pohon, yakni Camellia sinensis, proses pembuatan teh bervariasi.
1. Matcha dan Kokeicha: Matcha merupakan bubuk teh hijau dalam tradisi Cha No Yu. Cara membuatnya dengan menyeduh memakai air mendidih dan mengaduk memakai kuas bambu secara teratur hingga berbuih. Kokeicha merupakan bubuk matcha berbentuk pasta yang dicetak meniru bentuk daun.
2. Sencha dan Bancha: Keduanya merupakan teh yang digunakan sehari-hari di rumah. Kualitas bancha lebih rendah dibandingkan sencha. Shencha terasa manis, tapi bancha sedikit lebih pahit dengan aroma rumput.
3. Gyokuro dan Genmaicha: Teh hijau berkualitas tinggi. Ketika daun tumbuh, semak teh diselimuti bubuk bambu sehingga daun teh memproduksi klorofil lebih banyak. Itu sebabnya teh mempunyai klorofil berlimpah dengan aroma lembut karena jumlah tanin menjadi sedikit.
Genmaicha merupakan teh hijau sangrai dengan butiran nasi. Konon sebutan Genmaicha berasal dari Genmai, nama pelayan seorang samurai terkenal yang suatu ketika secara tak sengaja menumpahkan remah nasi ke dalam teh. Walaupun Genmai bernasib tragis, tapi sang samurai rupanya sangat menikmati aroma teh tersebut dan memberinya nama Genmaicha.
4. Hojicha dan Kukicha: Berasal dari daun bancha sangrai dengan citarasa beraroma asap alami. Kukicha dibuat dari ranting semak teh, disangrai sebanyak 4 kali sampai berwarna cokelat. Kukicha beraroma harum dengan citarasa sedikit menggigit. (Sumber: Japan Foundation).