Kabupaten Dompu di Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat potensial berkembang sebagai sentra walet di Indonesia bagian timur. Hal tersebut tampak jelas di tengah kota Kabupaten Dompu yang terpisah jarak 3 jam perjalanan dari Kabupaten Bima.
Sebuah bangunan walet di Jalan Mawadi, misalnya, bisa menghasilkan 4 kg sarang setiap panen. Bangunan walet 2 tingkat itu merupakan bangunan walet itu paling tua di Kabupaten Dompu karena sudah berdiri sejak 12 tahun lalu.
Oleh sebab termasuk bangunan walet lama, populasi waletnya berlimpah. Bayangkan saja jam baru menunjukkan pukul 15.30, tetapi puluhan walet sudah keluar-masuk di bangunan itu. Kondisi itu jarang dijumpai di sentra walet di tanahair seperti di Indramayu (Jawa Barat) maupun Gresik (Jawa Timur).
Bangunan walet itu tidak jauh berbeda dengan umumnya bangunan walet saat ini. Namun, pemiliknya sudah merenovasi. Sebelumnya sampai 2006, bangunan tersebut masih merupakan bagian dari toko.
Sang empunya bangunan lantas mengubah toko itu menjadi bangunan walet setelah melihat besarnya potensi produksi sarang walet di Bumi Nggahi Rawi Pahu itu. Menurut Syarifuddin, pengelola rumah walet, setiap 3 bulan ia bisa memetik minimal 4 kg sarang. Dalam setahun rumah walet itu dapat dipanen 2 kali.
Meski demikian, sejak setahun lalu Syarifuddin dan si empunya bangunan sepakat untuk mengurangi frekuensi panen menjadi sekali setahun. Hal tersebut efek dari penurunan harga jual sarang walet yang saat ini mencapai Rp5-juta/kg. Padahal 3 tahun lalu sekilo liur sarang emas itu ajek pada harga Rp15-juta/kg.
Merosotnya harga sarang walet itu dampak dari kebijakan Pemerintah China yang membatasi 80% impor sarang walet dari Malaysia. China termasuk Hongkong sampai saat ini merupakan penyerap terbesar sarang walet dunia.
Apa hubungannya dengan Indonesia? Produksi sarang walet sebesar 400 ton/tahun dari sentra walet di tanahair sebagian besar masuk ke Malaysia terlebih dahulu sebelum diekspor lagi oleh pedagang asal negeri Jiran itu ke China atau Hongkong.
Bangunan walet yang dikelola oleh Syarifuddin itu menjadi satu-satunya bangunan walet di Kota Dompu yang benar-benar rumah walet sejati. Artinya bangunan itu seluruhnya utuh untuk walet. Rumah walet lain yang tersebar di Jalan Sudirman dan Jalan Nusantara masih mempertahankan bangunan walet itu sebagai bagian dari toko. Salah satu cirinya adalah lubang keluar dan masuk walet masih memakai jendela. Separuh dari jendela itu dibiarkan terbuka tanpa sekat kaca.
Hampir semua bangunan walet di Kabupaten Dompu dilengkapi dengan tweeter pemanggil walet. Posisi tweeter itu biasanya ditaruh di dalam bangunan, tidak di bagian luar. Sebab itu suara cericit walet dari cakram suara pemanggil walet hanya sayup-sayup terdengar.
Kondisinya tidak seramai bila mengunjungi sentra walet lain seperti di kota Metro, Lampung. Di sana, siang maupun malam suara walet yang ditembakan dari tweeter membuat suasana kota riuh-rendah oleh cericit walet.
Bila suatu daerah kondisi makrohabitatnya bagus untuk walet dan berada di lintasan walet, tweeter sebetulnya tidak perlu dipakai. Oleh sebab itu, pemilik bangunan walet di Kabupaten Dompu patut berbahagia karena makrohabitat walet di sana terjaga.
Kabupaten Dompu dikelilingi oleh hutan masyarakat yang menjadi sumber pakan walet, yakni serangga. Belum lagi daerah persawahaan yang banyak dijumpai mulai dari pintu gerbang kabupaten seluas 2.321 km2 itu sampai ke dekat tengah kota. Itu artinya ketersediaan pakan walet melimpah.
Kabupaten Dompu berpotensi untuk terus berkembang sebagai sentra walet. Indikasi itu terlihat dari beberapa rumah walet baru yang sudah dimasuki si liur emas meski baru berumur hitungan bulan. Padahal di berbagai lokasi di Pulau Jawa acapkali walet tak kunjung masuk meskipun bangunan sudah berdiri 2-3 tahun dengan fasilitas lengkap.